Urgensi Meningkatkan Kemampuan Sosial Emosi Anak Usia Dini

         Manusia terlahir dengan segudang potensi baik, yang melekat di dalam dirinya. Pada awal manusia dilahirkan sebagai bayi mungil yang lemah tak berdaya, maka pada hakikatnya potensi tersebut tersembunyi. Namun, seiring waktu berjalan, bertambahnya pertumbuhan secara fisik selaras dengan berkembangnya potensi-potensi yang pada awalnya tersembunyi (hidden potencial). Potensi tersembunyi ini perlu dimunculkan dan dikembangkan menjadi potensi yang luar biasa sehingga anak menjadi pribadi cerdas dan berkarakter positif.

         Potensi yang dimaksudkan adalah potensi dari segi perkembangan fisik-motorik, bahasa, kognitif, agama-moral, seni, dan sosial emosi. Kesemua potensi tersebut bila dikembangkan secara tepat dan dengan pola pembelajaran yang tepat akan menghasilkan anak-anak yang berkarakter. Anak cerdas berkarakter bukan hanya unggul dari segi potensi perkembangan kognitifnya, tetapi juga unggul dari segi afektif (atttitude) dan segi keterampilannya. Namun, fakta di lingkungan sosial yang dapat kita perhatikan saat ini, orang yang berkeahlian tinggi dan sangat cerdas akan tereliminasi oleh lingkungan sosialnya jika orang tersebut tidak mampu menunjukkan perilaku sosial positif.

         Perilaku sosial positif seorang individu dewasa merupakan cerminan perilaku sosialnya di waktu kanak-kanak. Sejalan dengan pernyataan Elizabeth Hurlock, landasan yang diletakkan pada masa kanak-kanak awal akan menentukan cara anak menyesuaikan diri dengan orang dan situasi sosial jika lingkungan mereka semakin luas dan jika mereka tidak mempunyai perlindungan dan bimbingan dari orangtua pada masa bayi.[1] Perilaku sosial positif nampak berdasarkan perkembangan sosial emosi anak yang sejak dini diarahkan secara positif melalui pendidikan dan pembelajaran yang tepat sasaran.

         Meskipun di beberapa referensi menyatakan bahwa perkembangan sosial dan emosi dijabarkan secara terpisah, namun dalam anak usia dini, proses menumbuhkembangkan potensi dari perkembangan sosial emosi merupakan komponen yang saling terkait dan tidak dapat terpisahkan. Pengelolaan emosi merupakan bagian terpenting dalam kejiwaan setiap individu manusia. Pengelolaan emosi haruslah mulai dikembangkan pada anak usia dini sebagai pondasi awal dalam kecerdasan emosional. Pada usia dini, yang biasa disebut usia keemasan (Golden Ages), anak akan mengalami masa imitasi yaitu meniru segala hal yang dilihat, baik atau pun buruk. Anak akan menjadi pribadi dewasa yang cerdas secara emosionalnya apabila di usia dini dia diberikan pola pengembangan yang dapat mengembangkan potensi kecerdasan emosionalnya.

         Dalam hal pengembangan perilaku sosial dan pengelolaan emosional, keluarga memanglah yang paling bertanggung jawab karena keluarga menjadi lembaga pendidikan pertama dan utama yang memberikan nilai-nilai atau norma-norma pada anak. Namun, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal seperti Taman Penitipan Anak (TPA) juga memiliki peranan penting dan juga bertanggung jawab atas anak. Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[2]

         Perlu ditekankan pada pernyataan bahwa pendidikan yang diberikan oleh pendidik haruslah dapat membentuk watak yang bermartabat pada anak serta mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia yang berakhlak mulia. Dari pernyataan tersebut, sangatlah nyata bahwa harapan dengan memberikan pendidikan berupa contoh teladan yang baik dalam perilaku sosial dan emosional maka anak pun akan menjadi makhluk individu yang baik pula. Teladan perilaku positif yang diberikan oleh orang dewasa seperti orangtua dalam keluarga dan guru di sekolah dapat membantu mengembangkan potensi kemampuan sosial emosi anak. Pernyataan ini diyakini peneliti karena perkembangan yang penting dan muncul pada usia dini adalah perkembangan sosial dan emosional.

         Seperti halnya perkembangan kecerdasan spiritual yang ternyata telah ada sejak manusia belum menjadi janin, begitu juga perkembangan emosional. Bedanya adalah perkembangan emosional mulai berlangsung sejak anak sudah berupa janin dalam kandungan (ruh sudah dihembuskan kedalam dirinya oleh Allah SWT) dan tampak nyata ketika anak terlahirkan ke dunia. Perkembangan emosional berjalan berdampingan dengan perkembangan sosial anak yang dalam pengembangan keduanya diperlukan contoh teladan yang baik. Namun, kenyataannya orang dewasa sering kali memberikan contoh perilaku negatif pada anak usia dini yang dalam tahap perkembangannya adalah mengimitasi (mencontoh orang dewasa). Orang dewasa seperti orangtua yang cenderung memberi contoh negatif.

         Dari segi pengembangan emosional, ketika seorang anak yang diacuhkan dari kelompoknya dan tidak diajak bermain bersama, maka reaksi yang terjadi pada anak adalah menangis dan menarik diri dari kelompok bermainnya. Maka disinilah peran emosional pada anak dalam mengatasi konflik sosial tersebut. Ini menunjukkan bahwa perkembangan sosial emosional adalah salah satu aspek perkembangan yang tidak dapat terpisahkan.

         Kedua aspek perkembangan tersebut akan menjadi dasar bagi berkembangnya aspek-aspek perkembangan yang lainnya. Di dalam perkembangan bahasa, emosi merupakan suatu bentuk komunikasi. Emosi pada anak dikatakan sebagai wujud komunikasi mengungkapkan perasaan terhadap orang lain, seperti rasa takut, marah, sedih dan senang.[3] Emosi dapat diatasi dengan baik apabila seorang individu memiliki kemampuan spiritual yang baik. Individu yang cerdas emosi akan diterima oleh lingkungan, dengan kata lain sosiabilitasnya baik.

         Dalam keluarga, pola asuh orangtua yang otoriter dari segi sosial emosi, kebanyakan anak dengan pola asuh otoriter, tidak diijinkan untuk bermain dengan teman–teman sebayanya karena mereka takut terjatuh, takut kotor dan berkelahi, bahkan bila anak mereka sampai menangis maka orangtualah yang harus membela anaknya. Padahal akan lebih baik bila memberikan kesempatan pada anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

         Di sekolah, guru sebagai pendidik secara formal berkewajiban untuk membimbing dan mendidik perilaku negatif pada anak karena terbawa oleh lingkungan utamanya; keluarga di rumah. Namun, pada kenyataannya lembaga nonformal anak usia dini TPA, pengembangan perkembangan sosial emosional juga kurang mendapatkan porsi yang sesuai dalam KBM. Para praktisi pendidikan lebih banyak mengutamakan perkembangan bahasa dan kognitif, sehingga porsi untuk pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung lebih diutamakan sedangkan pembelajaran sosial emosional hanya sebagai sisipan saja. Di dalam program kegiatan belajar mengajar perkembangan sosial emosional sudah memiliki program khusus, tetapi untuk pelaksanaannya kurang mendapatkan porsi yang sesuai. Padahal perkembangan sosial emosional adalah menjadi dasar untuk dimensi–dimensi perkembangan lainnya.

         Dalam lingkungan masyarakat, persepsi tentang pentingnya perkembangan sosial emosional pada anak yang dianggap masih terlalu dini bagi kebanyakan masyarakat. Ini tampak ketika seorang anak tidak diajak bermain oleh teman dan terjadi perselisihan, maka reaksi yang sering muncul adalah anak menangis dan menarik diri dari teman-temannya, atau ada sebagian anak yang terlihat memukul temannya. Biasanya, ketika perselisihan itu terjadi, orang dewasa yang melihatnya akan memihak pada salah satu dari mereka atau mengatasi perselisihan anak dengan menjauhkan keduanya. Seharusnya pada saat anak mengalami konflik sosial, para orang dewasa dapat memberikan kesempatan pada anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Orang dewasa seharusnya bisa berperan sebagai wasit atau hakim yang adil dan tidak memihak, maka kita akan melihat sejauh mana kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungannya serta mengajarkan anak untuk dapat mengelola emosinya agar tercipta sosiabilitas yang baik. Ini adalah contoh ilustrasi yang kebanyakan terjadi pada masyarakat dalam menyikapi perkembangan sosial emosional anak usia dini.

         Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya sebuah usaha yang terprogram dan terencana dalam meningkatkan kemampuan sosial emosi anak di usia 2-4 tahun. Peningkatan kemampuan sosial emosi ini dapat dilakukan dengan menggunakan strategi pembelajaran kontekstual, sebuah strategi pembelajaran yang menekankan kepada keterlibatan anak secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata mereka sehingga mendorong anak untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.[4] Melalui strategi pembelajaran kontekstual maka diharapkan dapat menjawab beberapa permasalahan yang kerap dihadapi di masyarakat maupun di lembaga Taman Penitipan Anak atau satuan PAUD lainnya terkait dengan kegiatan pembelajaran atau stimulasi untuk meningkatkan kemampuan sosial emosi anak usia dini.

Referensi :


[1] Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak Edisi Keenam (Jakarta: Erlangga) h.263.

[2] UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)

[3] Paul Ekman dalam Daniel Goleman, Emotional Intelligence (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), p. 412

[4] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran – Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h.253.

3 Comments (+add yours?)

  1. Mas Agus
    Jan 29, 2013 @ 04:34:28

    nice

    Reply

  2. Muhammad idris
    Apr 23, 2013 @ 13:46:14

    mau nanya nih apa strategi pembelajaran berdasarkan perkembangan sosio emosional menurut brofenbrenner, E. Erikson, J. Piaget .???

    Reply

Leave a comment