A. Definisi Contextual Teaching Learning (CTL)
CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah.[1] CTL membuat siswa mampu menghubungkan isi dari subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan keseharian mereka untuk menemukan makna.[2]
Tujuan utama CTL adalah membantu para siswa dengan cara yang tepat untuk mengaitkan makna pada pelajaran-pelajaran akademik mereka. Ketika para siswa menemukan makna di dalam pelajaran mereka, mereka akan belajar dan ingat apa yang mereka pelajari.[3]
Contextual Teaching Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.[4] Strategi pembelajaran konstekstual merupakan strategi pembelajaran yang tepat untuk membantu menciptakan yang lebih nyata dan bermakna bagi anak usia dini. Strategi pembelajaran kontekstual atau yang lebih dikenal dengan bahasa asingnya Contextual Teaching Learning (CTL).
Menurut Wina Sanjaya, ada tiga hal yang harus kita pahami dalam konsep strategi pembelajaran kontekstual atau contextual teaching learning (CTL). Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
B. Asas-asas CTL
Menurut Wina Sanjaya, CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL, sebagai berikut:[5]
1. Konstruktivisme
Proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.
2. Inkuiri
Proses berpikir secara sistematis, pencarian dan penemuan pengetahuan. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
(a) merumuskan masalah;
(b) mengajukan hipotesis;
(c) mengumpulkan data;
(d) menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan;
(e) membuat kesimpulan.
3. Bertanya dan menjawab
Proses menggali informasi tentang kemampuan siswa terkait dengan materi yang akan diberikan, membangkitkan motivasi siswa, merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu, dan membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain.
5. Pemodelan
Proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
6. Refleksi
Proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.
7. Penilaian
Proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.
C. Delapan Komponen CTL
Menurut Elaine B. Johnson, dalam penerapan CTL mencakup delapan komponen sebagai berikut ini:[6]
- Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
- Melakukan pekerjaan yang berarti
- Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri
- Bekerja sama
- Berpikir kritis dan kreatif
- Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
- Mencapai standar yang tinggi
- Menggunakan penilaian autentik
Apabila kedelapan komponen CTL di atas benar-benar diterapkan oleh guru untuk proses belajar mengajar pada anak didiknya, maka pembeajaran bukanlah hal yang membebani anak lagi, dan guru pun hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan mediator untuk menggali seluruh potensi anak.
D. Kelebihan dan Kelemahan CTL
Berikut adalah kelebihan CTL:[7]
- CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
- CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal, akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.
- Kelas dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan.
- Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri, bukan hasil pemberian dari orang lain.
Berikut adalah kekurangan CTL:[8]
- Guru harus lebih kreatif dan memiliki wawasan keilmuan konsep dasar pendidikan anak usia dini yang mumpuni. Dalam hal ini, guru harus selalu melakukan: (a) merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa. (b) Membuat grup belajar yang saling bergantung. (c) Mempertimbangkan keragaman siswa.
- Karena CTL merupakan pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental, maka sarana prasarana harus mendukung pembelajaran mandiri. Untuk sekolah yang kurang memenuhi standar sarana prasarana yang lengkap, maka CTL akan kurang bermakna.
- Menggunakan ragam teknik-teknik pembelajaran.
- Guru harus handal dalam menerapkan penilaian autentik.
[1] Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h.65.
[2] Elaine B. Johnson, Ibid., h.64.
[3] Elin Rosalin, Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual (Bandung: PT Karsa Mandiri Persada, 2008), h.25.
[4] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 253.
[5] Wina Sanjaya, Ibid., h.262.
[6] Elaine B. Johnson, Ibid., h.65.
[7] Wina Sanjaya, Ibid., h.270.
[8] Yuliani Nurani, Belajar dan Pembelajar (Jakarta: UNJ, 2004), h.62.