Contextual Teaching Learning (CTL)

A. Definisi Contextual Teaching Learning (CTL)

CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama lain,  maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan bagian-bagiannya secara terpisah.[1] CTL membuat siswa mampu menghubungkan isi dari subjek-subjek akademik dengan konteks kehidupan keseharian mereka untuk menemukan makna.[2]

Tujuan utama CTL adalah membantu para siswa dengan cara yang tepat untuk mengaitkan makna pada pelajaran-pelajaran akademik mereka. Ketika para siswa menemukan makna di dalam pelajaran mereka, mereka akan belajar dan ingat apa yang mereka pelajari.[3]

Contextual Teaching Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.[4] Strategi pembelajaran konstekstual merupakan strategi pembelajaran yang tepat untuk membantu menciptakan yang lebih nyata dan bermakna bagi anak usia dini. Strategi pembelajaran kontekstual atau yang lebih dikenal dengan bahasa asingnya Contextual Teaching Learning (CTL).

Menurut Wina Sanjaya, ada tiga hal yang harus kita pahami dalam konsep strategi pembelajaran kontekstual atau contextual teaching learning (CTL). Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

B. Asas-asas CTL

Menurut Wina Sanjaya, CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas-asas ini yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL, sebagai berikut:[5]

1. Konstruktivisme

Proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman.

2. Inkuiri

Proses berpikir secara sistematis, pencarian dan penemuan pengetahuan. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:

(a) merumuskan masalah;

(b) mengajukan hipotesis;

(c) mengumpulkan data;

(d) menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan;

(e) membuat kesimpulan.

3. Bertanya dan menjawab

Proses menggali informasi tentang kemampuan siswa terkait dengan materi yang akan diberikan, membangkitkan motivasi siswa, merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu, dan membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain.

5. Pemodelan

Proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru  oleh setiap siswa.

6. Refleksi

Proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.

7. Penilaian

Proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.

C. Delapan Komponen CTL

Menurut Elaine B. Johnson, dalam penerapan CTL mencakup delapan komponen sebagai berikut ini:[6]

  1. Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna
  2. Melakukan pekerjaan yang berarti
  3. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri
  4. Bekerja sama
  5. Berpikir kritis dan kreatif
  6. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
  7. Mencapai standar yang tinggi
  8. Menggunakan penilaian autentik

Apabila kedelapan komponen CTL di atas benar-benar diterapkan oleh guru untuk proses belajar mengajar pada anak didiknya, maka pembeajaran bukanlah hal yang membebani anak lagi, dan guru pun hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan mediator untuk menggali seluruh potensi anak.

D. Kelebihan dan Kelemahan CTL

Berikut adalah kelebihan CTL:[7]

  1. CTL adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
  2. CTL memandang bahwa belajar bukan menghafal, akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.
  3. Kelas dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan.
  4. Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri, bukan hasil pemberian dari orang lain.

Berikut adalah kekurangan CTL:[8]

  1. Guru harus lebih kreatif dan memiliki wawasan keilmuan konsep dasar pendidikan anak usia dini yang mumpuni. Dalam hal ini, guru harus selalu melakukan: (a) merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa. (b) Membuat grup belajar  yang saling bergantung. (c) Mempertimbangkan keragaman siswa.
  2. Karena CTL merupakan pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental, maka sarana prasarana harus mendukung pembelajaran mandiri. Untuk sekolah yang kurang memenuhi standar sarana prasarana yang lengkap, maka CTL akan kurang bermakna.
  3. Menggunakan ragam teknik-teknik pembelajaran.
  4. Guru harus handal dalam menerapkan penilaian autentik.

[1] Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h.65.

[2] Elaine B. Johnson, Ibid., h.64.

[3] Elin Rosalin, Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual (Bandung: PT Karsa Mandiri Persada, 2008), h.25.

[4] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 253.

[5] Wina Sanjaya, Ibid., h.262.

[6] Elaine B. Johnson, Ibid., h.65.

[7] Wina Sanjaya, Ibid., h.270.

[8] Yuliani Nurani, Belajar dan Pembelajar (Jakarta: UNJ, 2004), h.62.

Implementasi Konstruktivisme Dalam Pendidikan

Implementasi konstruktivisme yang berikut ini, saya jabarkan berdasarkan teori Vygotsky bahwa ada tiga pola pembelajaran yang arah tujuannya ialah kontruktivisme, yaitu:

1.      Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dikatakan sebagai salah satu pendekatan konstruktivisme berdasarkan teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka dapat berbicara satu sama lain tentang soal tersebut.[1] Penekanan pola pembelajaran kooperatif adalah dengan adanya kelompok belajar.

Dalam pelaksanaannya, model pembelajaran kooperatif ada empat unsur penting, yaitu:[2]

(1)      adanya peserta dalam kelompok;

(2)      adanya aturan kelompok;

(3)      adanya upaya belajar setiap anggota kelompok; dan

(4)      adanya tujuan yang harus dicapai.

 

Contoh kegiatan pembelajarannya:

  • Anak dapat mengerjakan tugas permainannya dengan berkelompok,  misal dalam kegiatan motorik halus, guru dapat membagi anak menjadi beberapa kelompok untuk membuat kreasi dari bubur kertas. Anak TK biasanya juga sudah bisa mengatur dan membagi tugas dengan teman sebayanya untuk saling bekerjasama menyelesaikan kegiatan bermain mereka.
  • Ketika kegiatan gardening, dalam kegiatan sentra sains, dimana guru dapat mengarahkan anak-anak menyiram tanaman di kebun sekolah secara berkelompok. Pemberian tugas menyiram tanaman secara berkelompok ini akan membuat anak memiliki tanggung jawab dan adanya pembagian aturan kelompok pada anak secara natural. Dengan ditandai, anak mulai bisa mengatur temannya untuk pembagian wilayah dalam penyiraman tanaman.

 

Dengan melakukan pembelajaran kooperatif, maka yang diperoleh adalah:

  1. Siswa dapat belajar dari teman lainnya, dan belajar dari bantuan orang lain.
  2. Dengan belajar bekerjasama, maka secara natural adanya motivasi antar siswa meningkat dan menambah tingkat partisipasi mereka.
  3. Berkembangnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan menemukan berbagai solusi pemecahan.

 

2.      Pembelajaran Berbasis Proyek

Pengajaran proyek merupakan salah satu bentuk model pembelajaran bagi anak-anak yang sebenarnya dikembangkan oleh Kilpatrick dengan ide dasar dari John Dewey. Sebagai gagasan utamanya, ia menawarkan suatu konsep pembelajaran yang dikenal dengan istilah ‘learning by doing’ atau ‘belajar sambil bekerja’. Ide dasar ini mengandung beberapa pokok pikiran yang ingin diwujudkan Dewey, diantaranya adalah :[3]

  1. Pengajaran harus dapat menghubungkan isi kurikulum sekolah dengan lingkungan hidup anak.
  2. Konsep dan cara mengajarkan membaca, menulis dan berhitung permulaan dengan bahan yang menarik dan sesuai dengan lingkungan hidup anak-anak.
  3. Konsep dan cara membangkitkan perhatian anak.

 

Model pengajaran proyek dilaksanakan dengan menggunakan lima langkah sebagai berikut :[4]

  1. Langkah Persiapan

Guru mempersiapkan tema dan pokok masalah yang akan dilaksanakan dengan menggunakan pengajaran proyek. Setiap isi bidang studi (pengembangan) yang sesuai dengan tema atau pokok masalah tersebut disusun dan diorganisasikan dalam suatu rencana pengajaran (misalnya satuan pelajaran atau satuan kegiatan harian). Dalam langkah pertama, guru hendaknya mengidentifikasi dan merelevansikan isi setiap bidang studi yang akan dilaksanakan dengan pengajaran proyek, misalnya:

 

Contoh Tema : Keluarga kita

Bidang Studi

Bahan Pengajaran

Bahasa Indonesia

ü Kegiatan sehari-hari keluarga

ü Makanan kesukaan keluarga

Matematika

ü Jumlah anggota keluarga

ü Penghasilan dan belanja keluarga

Ilmu Pengetahuan Alam

ü Kesehatan keluarga

ü Tanaman dan Binatang

ü Peliharaan

Ilmu Pengetahuan Sosial

ü Tata krama dalam keluarga

ü Tolong menolong antara anggota keluarga

ü Silsilah keluarga

Keterampilan

ü Menggambar anggota keluarga

ü Membuat kerajinan rumah

Pada tahap persiapan, guru juga harus mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan:

  1. Pemberian materi yang akan diberikan secara klasikal.
  2. Pemberian bahan pengajaran secara tertulis sehingga anak dapat memiliki pemahaman yang agak mendalam berkaitan dengan isi bahan pelajaran.
  3. Jenis-jenis tugas yang dikerjakan anak secara kelompok (5-7 orang) atau perorangan.
  4. Menetapkan jumlah jam yang akan digunakan pada setiam jam pelajaran.
  5. Rencana perjalanan sekolah yang akan dilaksanakan.
  6. Rencana pameran yang akan diselenggarakan oleh anak-anak.

 

b. Pendahuluan

Dalam kegiatan pendahuluan, guru mengadakan percakapan bersama anak-anak secara klasikal tentang tema atau pokok masalah serta bidang studi yang berkaitan. Percakapan ini sekaligus dapat menjajaki kesanggupan anak dalam mengenal bahan pelajaran serta tugas yang akan dikerjakannya. Percapakan juga dimaksudkan membangkitkan perhatian dan semangat anak-anak untuk melihat, menyelidiki, menyimpulkan dan mengkomunikasikan tentang sesuatu yang ditemukannya. Dalam kegiatan percakapan, guru dapat menulis hal-hal yang sudah dikenal anak dari tema atau pokok masalah yang sedang dibicarakan. Hasil percakapan ini akan mengidentifikasi berbagai pokok proyek dalam setiap bidang studi yang akan diselidiki anak.

 

c.  Perjalanan Sekolah atau Survey

Perjalanan sekolah atau survey dilakukan pada beberapa keluarga atau   rumah yang berdekatan dengan lokasi sekolah. Masing-masing kelompok murid sesuai dengan tugasnya melakukan pengamatan pada berbagai hal yang menjadi persoalan, misalnya bertanya tentang silsilah keluarga, binatang dan tanaman apa saja yang dipelihara, siapa dan jenis penyakit apa yang pernah diderita anggota keluarga, berapa penghasilan dan apa saja belanjanya, kerajinan apa saja yang dikerjakan keluarga tersebut.

Agar perjalan sekolah tersebut berlangsung tertib maka guru harus memberikan dan menanamkan tata tertib pada anak ketika akan melakukan kunjungan, misalnya bersikap dan berbicara sopan, membawa buku catatan.

 

d. Pengolahan Masalah

Setelah mengadakan kunjungan tiap kelompok secara tertib kembali masuk ke sekolah dengan membawa berbagai hasil pengamatan, misalnya data jumlah keluarga, bagan silsilah keluarga, data pengahasilan dan pengeluaran keluarga, data tanaman dan binatang yang dipelihara keluarga, data kesehatan anggota keluarga, jenis keterampilan yang dikerjakan pada keluarga yang diamati. Semua data yang dikumpulkan kelompok dilaporkan pada guru sebelum disampaikan pada diskusi dan laporan pengamatan tiap kelompok dalam presentasi kelompok. Secara bergiliran setiap kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk menjelaskan, menyimpulkan dan menyampaikan berbagai temuan sesuai dengan tugasnya.

Kegiatan pengolahan masalah selanjutnya dapat dilakukan murid, baik secara individu maupun kelompok, misalnya membuat data silsilah keluarga masing-masing, membuat data jumlah keluarga, data penghasilan dan pengeluaran keluarga, mencatat dan membuat data kesehatan keluarga, membuat berbagai bentuk keterampilan yang biasa dikerjakan dalam suatu keluarga, membuat peta dan grafik, menanam jenis tanaman, menggambar dan mewarnai, dan memelihara binatang.

Pada tahap ini akan tampak kesibukan para murid dalam mengerjakan berbagai tugasnya. Dengan demikian, kelas memperlihatkan fungsinya sebagai laboratorium bagi murid-murid untuk belajar sambil mengerjakan sesuatu. Disinilah aplikasi (penerapan) konsep ‘learning by doing’ diwujudkan oleh Kilpatrick sebagai kelanjutan dari pengembangan konsep pendidikan Dewey.

 

e. Pameran

Sesuai dengan rencana, pameran dirancang dan dilaksanakan dari dan oleh anak itu sendiri. Anaklah yang menyusun meja dan kursi sehingga menjadi satu stan pameran. Anak juga yang menghiasi stan tersebut dengan taplak meja, warna warni, pas bunga serta menempatkan berbagai hasil pengolahan pengamatan. Guru lebih banyak bertindak sebagai pengawas dan pembimbing anak-anak dalam mempersiapkan stan pameran sebaik mungkin. Pada hari H yang ditentukan, sesuai dengan undangan maka para orang tua dan keluarga di sekitar sekolah berpartisipasi untuk hadir melihat, mengamati, bertanya dan memberikan berbagai tanggapan pada berbagai stan yang disiapkan anak-anak.

 

3.      Pembelajaran Penemuan (Discovery)

Dalam pembelajaran penemuan (Bergstrom & O’Brien, 2001; Wilcox, 1993), siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa memeroleh pengalaman dan melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri prinsip-prinsip.[5] Pembelajaran penemuan ada dua jenis, yaitu penemuan murni (anak mencari tahu dan menemukan sendiri hasil temuannya) dan penemuan terpimpin. Dalam penemuan terpimpin, guru memainkan peran yang lebih aktif, dengan memberikan petunjuk, menata bagian-bagian kegiatan, atau memberikan garis besar.[6]

Diskoveri terpimpin merupakan suatu model pengajaran yang dirancang untuk mengajarkan konsep-konsep dan hubungan antarkonsep. Ketika menggunakan strategi ini, guru menyajikan contoh-contoh pada siswa, memandu mereka saat mereka berusaha menemukan pola-pola dalam contoh-contoh tersebut, dan memberikan semacam penutup ketika siswa telah mampu mendeskripsikan gagasan yang diajarkan oleh guru.[7]

Contoh kegiatan :

Kegiatan belajar di sentra matematika, anak diminta menemukan apa saja dari alam untuk berhitung, misal pengambil batu ukuran besar dan kecil. Kemudian anak menemukan perbandingan dari keduanya, dan dapat membedakan mana batu yang lebih besar dan yang lebih kecil.

 


[1] Robert E. Slavin, Op.Cit., h.6

[2] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h.239.

[3] Hapidin dan Renti Oktaria, Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Sekolah (Bekasi: Bani Saleh, 2007), h.136.

[4] Hapidin dan Renti Oktaria, Ibid, h.149

[5] Robert E. Slavin, Op.Cit., h.8

[6] Robert E. Slavin, Ibid, h.8

[7] David A. Jacobsen, Methods for Teaching (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.209.

Teori Konstruktivisme

Makna dari konstruktif adalah sesuatu yang dapat dibangun. Maksud dari ”sesuatu yang dapat dibangun” itu adalah pengetahuan. Menurut Shapiro (1994), pengetahuan adalah konstruksi pikiran manusia. Pengetahuan adalah suatu kerangka untuk  mengerti bagaimana seseorang mengorganisasikan pengalaman dan apa yang mereka percayai sebagai realitas.[1] Maka dapat juga dimaknai bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan akibat dari suatu pembentukan (konstruksi) kognitifnya melalui aktifitasnya dan interaksi edukatif yang dilakukan dalam keadaan sadar.

Menurut dua tokoh besar seperti Piaget dan Vygotsky, menekankan bahwa perubahan kognisi hanya terjadi ketika konsepsi sebelumnya mengalami proses ketidakseimbangan (disequilibration) dari sudut informasi baru.[2] Menurut pakar lain, konstruktivisme merupakan cara pandang (filosofis) yang menganjurkan perubahan proses pembelajaran skolastik (baik formal maupun nonformal dan informal) melalui pengenalan, penyusunan, dan penetapan tangkapan pengetahuan  berdasar reaksi (di dalam pikiran) peserta didik.[3]

Pemikiran konstruktivisme memang sangat kental dengan teori Piaget dan Vygotsky. Namun dari beberapa referensi, lebih mengatakan bahwa pemikiran konstruktivisme modern paling banyak mengandalkan teori Vygotsky yang telah digunakan untuk mendukung metode pengajaran di ruang kelas yang menekankan pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan.[4]

Jadi, yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah dalam proses pembelajaran, peserta didiklah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pengajar atau orang lain.


[1] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h.28.

[2] Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik Jilid 2 (Jakarta: PT. Indeks, 2011), h.4.

[3] Elin Rosalin, Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual (Bandung: PT Karsa Mandiri Persada, 2008), h.5.

[4] Robert E. Slavin, Ibid, h.4.

Teori Humanisme

1.      Penjelasan Pendekatan Teori Humanisme

Tokohnya adalah Carl Rogers dan Abraham maslow. Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang melibatkan individu sebagai manusia seutuhnya, melalui konsep diri (self concept).

Konsep diri (self concept) yaitu :

  1. Merupakan gambaran umum tentang seseorang mengenai dirinya.
  2. Bersifat multi jaces yaitu bermakna banyak karena manusia mempunyai pribadi yang berbeda-beda.
  3. Manusia dapat mengalam perubahan seharian maka besok tidak, maka sekarang rajin, maka besok tidak.
  4. Bersifat development artinya manusia mempunyai sifat berkembang seharian, maka besok lebih suka, sekarang maupun besok lebih mapan lagi.
  5. Belajar mengandung evaluasi diri karena belajar dapat mengevaluasi diri, introspek diri.

Belajar timbul dari dalam diri sendiri atau Von Kinds Aus (Friedrich Frobel).

2.      Implikasi teori humanistik adalah :

  1. Pendekatan adalah self actualization artinya sebagai wujud diri.
  2. Learner centered artinya belajar berpusat pada siapa yang belajar.
  3. Pendidikan instrinsik artinya belajar timbul dari dalam diri sendiri.
  4. Guru berperan sebagai fasilitator yang menyiapkan situasi kondisi yang dibutuhkan.
  5. Guru menyumbangkan daya kuativitas rupa yang kreativitas peserta didik berkembang sendiri atas dasar inisiatif sendiri.
  6. Metode yang digunakan dalam hal ini adalah partisipasi yaitu peserta ikut aktif dalam proses pembelajaran.
  7. Mandiri yaitu belajar sendiri dan evaluasi diri (introspeksi).

 

Teori Behaviorisme

1.      Penjelasan Pendekatan Teori Behaviorisme

Teori belajar conditioning (teori belajar behaviorisme) merupakan suatu teori yang menyatakan bahwa beberapa proses belajar dapat terjadi dalam kondisi tertentu yaitu adanya stimulasi (rangsang) yang menimbulkan respon (reaksi). Jadi, belajar terjadi karna adanya asosiasi antara S (Stimulus) dan R (Respon). Teori ini disebut juga dengan teori stimulus-respon yang disingkat dengar S-R.[1]

Teori ini berkembang melalui beberapa tokoh ternama seperti Edward L. Thorndike, Ivan Pavlov, dan B. F.  Skinner. Ketiga pakar ini sepakat bahwa teori behaviorisme yaitu belajar adalah perubahan tingkah laku lahir saja, bukan disebabkan dari faktor-faktor dari dalam, misalnya seseorang merasa sedih maka menangis. Oleh karna itu, behaviorisme juga sering disebut dengan ilmu jiwa tanpa jiwa karna tidak terjadi  proses jiwa.[2]  Teori ini dibagi menjadi tiga, yaitu :

(1)   Instrumental conditioning sering juga disebut dengan respon type theories dengan tokoh yaitu Edward L. Thondike yang menyatakan bahwa respon yang menyenangkan menghindari yang tidak menyenangkan, misalnya seseorang menyanyi karna tidak senang menangis.

(2)   Classical conditioning atau stimulus type theories dengan tokohnya adalah Ivan Pavlov yang menyatakan bahwa prilaku dikontrol oleh stimulus. Dalam hal ini, Ivan Pavlov melakukan penelitiannya dengan menggunakan seekor anjing yang diberikan daging lalu mengeluarkan air liur, untuk kedua kalinya jika ada yang datang anjing tersebut tetap mengeluarkan air liur.

(3)   Operant conditioning yaitu stimulus respon type theories dengan tokohnya yaitu B. F. Skinner yaitu merupakan perpaduan antara teori S dan R yang juga merupakan perpaduan dan penguatan,menurut skinner, agar terjadi perubahan maka harus ada penguatan S dan R. Misalnya, agar stimulus menimbulkan reaksi yang tepat maka perlu adanya respon yang disertai dengan penguatan.

 

Adapun tujuan pembelajaran menurut behaviorisme adalah behavioral learning ourcome dinyatakan secara spesifik, seperti:[3]

A = Audience, ialah siswa

B = Behavior, ialah perilaku atau kompetensi yang perli ditampilkan setelah

proses belajar dilakukan, seperti “menjawab dengan benar”

C = Condition, setelah menyelesaikan unit pelajaran yang dievaluasi diakhir

proses pembelajaran

D = Degree, yaitu pencapaian hasil belajar, misalnya 90%

 

2.      Implikasi teori behavioris dalam pendidikan adalah :

Contoh konsep ABCD dalam merumuskan Lesson Plan

Audience : Siswa kelas 1 SD (anak usia 6 tahun)

Behavior   : Dapat membedakan ciri-ciri makhluk hidup dengan benda mati.

Conditions: Melalui observasi langsung

Degree     : Dengan tepat (dengan benar).


[1] Yuliani Nurani, Belajar dan Pembelajar (Jakarta: UNJ, 2004), h.29.

[2] Ibid., h.29.

[3] Martini Jamaris, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan (Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2010), h.164.

Teori Psikoanalisis

1.      Penjelasan Pendekatan Teori Psikoanalisis

Teori psikoanalisis dipublikasikan oleh tokoh dunia Sigmund Freud. Psikoanalisa dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah konsepsi baru tentang manusia. Hipotesis pokok psikoanalisa menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebahagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar, sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran manusia.[1] Selanjutnya dikatakan pula bahwa ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut.

Berkembangnya ilmu, kemudian teori psikoanalisis lebih populer dengan teori -teori perkembangan psikoseksual dari Sigmund Freud dan teori psikososial dari Erik Erikson yang lebih sering dijadikan landasan teori. Teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial.

Melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan.

 

2.      Implementasinya dalam pendidikan, adalah:

Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.

Ilustrasi Kegiatan Pengajaran

Yang Terjadi Pada Anak

Treatment yang harus diberikan oleh orangtua & guru

Insiatif

Kesalahan

Di sekolah: Ingin terlibat dalam semua kegiatan bersama dengan teman-teman dan guru, senang membantu bekerjasama merapikan mainan atau perlengkapan sekolah. Biasanya ketika ingin membantu, anak terkadang malah rebutan dengan temannya, bertengkar, dan salah satu ada yang menangis atau pun keduanya.

Atau malah merusak barang-barang sekolah.

  • Memberikan arahan dan aturan yang dapat dipahami anak, dengan bahasa yang baik dan benar dan dengan cara yang dapat dimengerti anak.
  • Guru dapat memberikan kegiatan bersama seperti bekerjasama merapikan mainan setelah selesai bermain, atau membuat kegiatan khusus bermain peran menjadi orangtua atau apa saja yang diminati anak.
  • Jika anak membuat kesalahan atau berselisih dengan teman sebayanya, maka damaikan dengan cara yang tidak berpihak.
  • Berikan reward pada anak yang sudah berusaha untuk inisiatif membantu guru atau pun teman sebayanya. Reward bisa berupa pujian dan mungkin token hadiah.

 


Analisis Teori Jean Piaget dan Lev Vigotsky

Jean Piaget

Perkembangan kognitif pada anak-anak terjadi melalui urutan yang berbeda. Tahapan ini membantu menerangkan cara anak berpikir, menyimpan informasi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Jean Piaget dalam buku perkembangan dan kepribadian anak (Paul henry Mussen dkk. 1984, h. 201) mengemukakan bahwa tahapan perkembangan kognitif anak dibagi menjadi 4 tahapan yaitu:

1)         Tahap Sensori Motor (0-2 Tahun)

Selama tahap sensorimotor, pertumbuhan kognitif didasarkan pada tindakan panca indera dan motorik. Dimulai dengan tindakan yang terutama berbentuk reaksi refleks, bayi itu berkembang melalui enam tahapan di mana tindakan untuk mencapai tujuan meningkat secara menyolok. Dalam tahap terakhir dari periode sensorimotor, anak itu membentuk gambaran mental, dapat meniru tindakan orang lain yang telah lalu, dan merancang arti baru dari pemecahan persoalan dengan menggabungkan skema yang didapat sebelumnya dengan pengetahuan secara mental. Dalam periode singkat dari 18 bulan atau 2 tahun, ”anak itu telah mengubah diirnya dari sebuah organisme yang sama sekali tergantung pada refleks dan sifat bawaan lainnya menjadi orang yang mampu berpikir secara simbolik” (Ginsburg & Opper, 1979, p. 83).

2)         Tahap Pra-Operasional Kongkrit (2-6 Tahun)

Manipulasi simbol, termasuk kata-kata merupakan karakteristik penting dari tahap praoperasional. Hal ini dinyatakan dalam meniru yang tertunda (menghasilkan suatu tindakan yang telah dilihat di masa lalu) dan dalam imajinasi anak-anak atau pura-pura bermain (Piaget, 1951). Seorang anak usia 2 tahun dapat meniru pergerakan barisan atau loncatan yang dilihatnya kemarin. Dalam suatu permainan ia akan menggunakan benda sebagai simbol benda lain: Sebuah kotak dapat digunakan sebagai tempat tidur, meja, kursi, mobil, kapal terbang, atau kereta bayi. Anak-anak ini telah fasih menggunakan tanggapan simbolik. Karena pengetahuan bahasa mereka berkembang pesat selama periode ini, kemampuan untuk menggunakan penggambaran simbolik dalam berpikir, memecahkan masalah dan permainan kreatif yang lebih dipertinggi lagi dalam tahun-tahun berikutnya.

Walaupun demikian cara berpikir anak dalam tahap praoperasional terbatas dalam beberapa hal yang penting. Menurut Piaget karakteristiknya ialah egosentris; anak praoperasional mempunyai kesulitan untuk membayangkan bagaimana benda-benda itu terlihat dari perspektif orang lain. Piaget merancang model dari tiga gunung yang seringkali dipakai untuk mempelajari egosentrisme. Batasan lainnya dalam pikiran anak-anak praoperasional dapat dimengerti paling baik dengan mengamati perubahan yang terjadi bila mereka memasuki tahap operasi konkret.

3)         Tahap Operasional Konkret (7-12 tahun)

Pada tahap ini anak telah mencapai kemampuan untuk melakukan operasi mental yang fleksibel dan dapat diputar balik sepenuhnya. Anak-anak pada tahap ini mengerti peraturan dasar logis tertentu (disebut grouping oleh Piaget) dan karenanya mampu berpikir secara logis dan kuantitatif dengan cara yang tidak kelihatan dalam tahap praoperasional. Anak-anak pada tahap operasi konkret bergerak bebas dari satu pandangan ke yang lain; jadi mereka mampu berperilaku obyektif dalam mengkaji kejadian.

Berikut ini adalah empat tahapan kemampuan yang dimiliki anak pada usia 7-12 tahun (pada tahap operasi konkret):

a)         Desentrasi dan Konservasi.

Kemampuan untuk memusatkan perhatiannya pada beberapa atribut sebuah benda atau kejadian secara bersamaan dan mengerti hubungan antardimensi. Dalam percobaan konservasi jumlah yang khas, satu barisan yang terdiri dari lima kancing berjajar tepat di atas barisan lain yang juga terdiri dari lima kancing, sehingga kedua barisan sama panjangnya. Anak itu setuju bahwa kedua barisan mempunyai jumlah kancing yang sama. Bila salah satu barisan diperpendek dengan merapatkan kancing-kancing itu satu sama lain, anak tahap praoperasional biasanya mengatakan bahwa barisan yang lebih panjang mempunyai lebih banyak kancing. Anak tahap operasional konkret mengetahui bahwa pengaturan kembali dari kancing tidak mengubah jumlahnya.

Menurut Piaget anak-anak tahap operasi konkret mengerti masalah konservasi karena mereka dapat melaksanakan operasi mental yang diputarbalikkan dan mereka juga mengerti dua prinsip logika yang penting. Prinsip pertama, disebut identitas atau prinsip ekuivalen, yang menunjukkan bahwa bila ukuran A sama dengan B (misalnya panjangnya), dan B sama dengan C, maka seharusnya A adalah sama dengan C. Seseorang tidak perlu mengukur A dan C untuk mengetahui kebenarannya. Prinsip kedua, ialah bahwa benda dan kejadian mempunyai lebih dari satu dimensi, misalnya berat dan ukuran, dan dimensi ini mungkin terdiri dari hubungan yang berbeda-beda. Anak mengetahui bahwa sebuah batu kerikil itu kecil dan ringan, sebuah bola boling: kecil dan berat, sebuah balon besar walaupun ringan, mobil besar dan berat.

 

b)        Seriasi

Karakteristik lain dari tahap operasional konkret ialah kemampuan untuk mengatur benda sesuai dengan beberapa dimensi kuantitatif seperti berat atau ukuran. Kemampuan ini disebut seriasi. Seorang anak usia 8 tahun dapat mengatur delapan tongkat dengan panjang yang berbeda dengan urutan terpendek sampai terpanjang. Seriasi menggambarkan kemampuan anak akan logis lain yang penting disebut transitivitas, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan tetap yang tertentu di antara kualitas dari benda. Misalnya A lebih panjang dari B dan B lebih panjang dari C, maka A harus lebih panjang dari C. Anak-anak dalam tahap operasi konkret mengetahui berlakunya peraturan itu bahkan juga bila mereka tidak pernah melihat benda A, B dan C. Kemampuan yang oleh Piaget disebut seriasi penting untuk mengerti hubungan satu nomor dengan yang lain dan karenanya untuk mempelajari ilmu hitung.

c)         Pemikiran Relasional

Anak tahap operasional konkret menghargai istilah seperti lebih tinggi, lebih pendek, dan lebih gelap daripada besar absolut. Anak yang lebih kecil berpikir dalam istilah absolut dan menginterpretasikan lebih gelap dengan arti ”sangat gelap” daripada ”lebih gelap dari benda lain”. Bila pada mereka diperlihatkan dua benda warna cerah, salah satu di antaranya sedikit lebih gelap, dan mereka diminta untuk mengambil benda yang lebih gelap, maka mereka mungkin tidak menjawab atau mereka akan berkata bahwa tidak ada yang lebih gelap. Berpikir relasional merupakan gambaran lain dari kemampuan untuk menimbang lebih dari satu kejadian secara bersamaan karena ia membutuhkan perbandingan dari dua benda atau lebih.

d)        Inklusi Kelas

Anak tahap operasional konkret dapat berpikir secara bersamaan tentang bagian dan keseluruhan. Bila pada seorang anak usia 8 tahun diperlihatkan delapan permen kuning dan empat permen coklat dan ditanya, ”Apakah terdapat lebih banyak permen kuning atau coklat?” anak itu menjawab, ”terdapat lebih banyak permen”. Demikian juga seorang anak yang berusia 5 tahun yang diberi persoalan yang sama biasanya akan berkata, ”lebih banyak permen kuning”. Jawaban ini menurut Piaget mencerminkan ketidakmampuan anak kecil untuk memikirkan tentang sebagian dan keseluruhan secara bersama-sama.

Pengertian anak tentang pemasukan kelas menggambarkan prinsip logis bahwa terdapat hubungan hirarki antar golongan. Anak operasional konkret menghargai bahwa beberapa himpunan golongan saling sesuai dengan yang lain. Misalnya, semua jeruk termasuk golongan buah-buahan, semua buah-buahan tergolong dalam makanan, dan semua makanan termasuk dalam golongan yang lebih besar barang-barang yang dapat dimakan. Pertama, anak dapat mengerjakan sebuah operasi dan secara mental memisahkan setiap golongan benda dan menggabungkannya kembali. Golongan makanan terdiri dari semua barang yang dapat dimakan, termasuk buah yang dapat dimakan dan semua makanan lain yang bukan merupakan buah-buahan. Kedua, anak operasi konkret menyadari bahwa sifat khusus dari benda dapat termasuk lebih dari satu golongan atau lebih dari satu hubungan pada satu saat, sebuh prinsip yang disebut penggandaan kelas atau relasi. Anak-anak menghargai bahwa pisang dapat termasuk bersama-sama dalam golongan makanan alamiah dan golongan makanan manis, sedang roti termasuk golongan makanan buatan dan golongan tepung.

Walaupun anak-anak operasional lebih maju dari tahap praoperasional dalam berpikir, pemecahan masalah dan logika, pemikiran mereka tetap terbatas pada di sini dan sekarang (here and now) dari operasional konkret. Pada tingkat ini anak-anak menjaga kuantitas dan jumlah, dapat menyusun dan menggolongkan benda nyata dan benda lain. Namun mereka tidak dapat berpikir tentang hal abstrak, hipotetik atau kejadian semu. Selanjutnya, walaupun mereka dapat menyusun serangkaian kotak menurut ukuran, mereka mendapat kesulitan dalam memecahkan masalah lisan yang abstrak seperti, ”Ani lebih tinggi dari Lidwin. Lili lebih pendek dari Lidwin. Siapa yang paling tinggi?”.

4)         Tahap Operasional Formal (12 tahun ke atas)

Dalam tingkatan paling lanjut dari perkembangan kognitif mulai sekitar usia 12 tahun dan berlangsung sampai dewasa, pembatasan tahap operasi konkret dapat dilampaui. Manusia menggunakan berbagai variasi operasi kognitif dan strategi dalam memecahkan masalah. Mereka sangat cakap dan fleksibel dalam pemikiran dan pencarian alasan serta dapat melihat benda dari sejumlah perspektif atau sudut pandangan lain (Ginsburg & Opper, 1979). Pemikiran orang dewasa lebih kompleks daripada remaja, dan bidang kemampuan kecerdasan serta keaktifannya lebih besar.

Salah satu ciri yang terlihat jelas dalam tahap ini ialah perkembangan dari kemampuan untuk berpikir tentang masalah-masalah hipotesis maupun yang nyata, dan berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan seperti juga yang aktual. Anak yang ada dalam tahap operasi konkret secara mental memanipulasi benda dan kejadian; dalam tahap operasi formal, anak itu dapat memanipulasi gagasan tentang situasi hipotesis.

Lev Vygotsky

Dalam konsep yang berbeda, Vygotsky menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan seperangkat fungsi kognitif dasar yakni kemampuan memperhatikan, mengamati, dan mengingat (Dworestky, 1990). Kebudayaan akan mentransformasikan kemampuan tersebut dalam bentuk fungsi kognitif yang lebih tinggi, terutama dengan cara mengadakan hubungan bermasyarakat dan melalui proses pembelajaran serta penggunan bahasa. Dalam buku teori perkembangan ( 2007, h. 347), berdasarkan sebuah eksperimen, Vygotsky mengemukakan bahwa anak-anak yang paling muda, antara usia 4 sampai 8 tahun, bertindak seolah-olah mereka bisa mengingat suatu hal. Entah tugas ini sederhana atau sulit, mereka segera melakukannya setelah mendengar instruksi-instruksi tersebut. Ketika para peneliti menawarkan mereka gambar dan kartu untuk membantu mengingat, biasanya mereka mengabaikan bantuan-bantuan itu, atau menggunakannya secara tidak tepat. Anak kecil, simpul Vygotsky, ”tidak tahu kapasitas dan keterbatasan mereka” atau bagaimana menggunakan stimuli eksternal untuk membantu mereka mengingat sesuatu (1913b, h.71). Anak-anak yang lebih tua, biasanya 9 sampai 12 tahun, menggunakan gambar-gambar yang ditawarkan Vygotsky, dan bantuan-bantuan ini sungguh menyempurnakan performa mereka. Yang menarik adalah tambahan bagi bantuan-bantuan semacam itu tidak selalu memperbaiki ingatan orang dewasa. Namun hal ini bukan berarti karena mereka telah kembali lagi menjadi seperti anak kecil dan tidak lagi menggunakan alat-alat memori. Lebih tepatnya, ini karena mereka sekarang melatih diri memahami instruksi-instruksi dan membuat beberapa catatan mental bagi diri sendiri, tanpa memerlukan lagi petunjuk-petunjuk eksternal (Vygotsky, 1930, h. 41-45).

Bahasa sebagai Sistem Kognitif

 

guru

Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini, mencakup semua cara untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini, mencakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka.

Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Allah SWT, yang dengannya manusia, alam, dan penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan berbahasanya.

Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berfikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan.

Dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Keempat tugas itu adalah: pemahaman, pengembangan perbendaharaan kata, penyusunan kata-kata menjadi kalimat, dan ucapan.

Ada dua tipe perkembangan bahasa anak, yaitu sebagai berikut: egocentric speech, yaitu anak berbicara kepada dirinya sendiri (monolog); dan socialized speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted information, disini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari, (b) critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain, (c) commad (perintah), request (permintaan) dan threat (ancaman), (d) questions (pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).

Berbicara monolog (egocentric speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berfikir anak yang pada umumnya dilakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “socialized speech” mengembangkan kemampuan penyelesaian social (social adjustment).

Pembelajaran bahasa untuk anak usia dini diarahkan pada kemampuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis (simbolis). Untuk memahami bahasa simbolis anak perlu belajar membaca dan menulis. Oleh karena itu, belajar bahasa sering dibedakan menjadi dua, yaitu belajar bahasa untuk komunikasi dan belajar literasi, yaitu belajar membaca dan menulis.

Menurut Vygotsky pada mulanya bahasa dan pikiran anak berbeda. Kemudian secara perlahan, sesuai tahap perkembangan mentalnya, bahasa dan pikiran menyatu sehingga bahasa merupakan ungkapan dari pikiran. Anak secara alami belajar bahasa dari interaksinya dengan orang lain untuk berkomunikasi, yaitu menyatakan pikiran dan keinginannya memahami pikiran dan keinginan orang lain.[1]

Dalam interaksi guru dan murid diperlukan bahasa. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan antara guru dan siswa. Bahasa digunakan untuk berkomunikasi membicarakan banyak hal , mendengar, membaca dan menulis. Bahasa juga diperlukan untuk mendeskripsikan sesuatu dan merencanakan  sesuatu. Menurut Vygotski, bahasa memainkan peranan utama dalam perkembangan kognitif anak (Santrock, 2010:67).[2]

Dalam berkomunikasi, bahasa merupakan alat yang penting bagi setiap orang. Melalui berbahasa seseorang atau anak akan dapat mengembangkan kemampuan bergaul (social skill) dengan orang lain.[3] Penguasaan keterampilan bergaul dalam lingkungan sosial dimulai dengan penguasaan kemampuan berbahasa. Tanpa bahasa seseorang tidak akan dapat berkomunikasi dengan orang lain. Anak dapat mengekspresikan pikirannya menggunakan bahasa sehingga orang lain dapat menangkap apa yang dipikirkan oleh anak. Komunikasi antar anak dapat terjalin dengan baik dengan bahasa sehingga anak dapat membangun hubungan sehingga tidak mengherankan bahwa bahasa dianggap sebagai salah satu indikator kesuksesan seorang anak. Anak yang dianggap banyak berbicara, kadang merupakan cerminan anak yang cerdas.

Bahasa dapat dimaknai sebagai suatu sistem tanda, baik lisan maupun tulisan dan merupakan sistem komunikasi antar manusia. Bahasa mencakup komunikasi non verbal dan komunikasi verbal serta dapat dipelajari secara teratur tergantung pada kematangan serta kesempatan belajar yang dimiliki seseorang, demikian juga bahasa merupakan landasan seorang anak untuk mempelajari hal-hal lain. Sebelum dia belajar pengetahuan-pengetahuan lain, dia perlu menggunakan bahasa agar dapat memahami dengan baik. Anak akan dapat mengembangkan kemampuannya dalam bidang pengucapan bunyi, menulis, membaca yang sangat mendukung kemampuan keaksaraan di tingkat yang lebih tinggi.[4]

Perolehan bahasa pada anak-anak tidak serta-merta dapat langsung sempurna namun melalui proses perkembangannya yang bersegmentasi dari tahap perkembangan. Untuk memperoleh bahasa yang baik dalam kalimat yang terstruktur juga berproses dari pengenalan huruf, bunyi dari penggabungan antara huruf sampai pada tingkatan mengerti akan makna dari kata maupun kalimat yang bersusun (Yusuf, Syamsu,  2000:118)


[1]Muhammad Yusuf, Pembelajaran Bahasa Pada Anak Usia Dini (Jakarta:Pustaka Utama, 2011), h. 18.

[2] Tarigan

[3] Yusuf, Op.Cit., h. 20.

[4] Ibid, h. 30.hh

Perspektif Perkembangan Kognitif, Perkembangan Psikososial dan Emosional AUD

Dalam sebuah kasus ditemukan bahwa anak yang memiliki kemampuan akademik pada masa TK (Taman Kanak-kanak) mengalami penurunan prestasi pada usia remaja (ketika belajar di SMP) bahkan tidak sedikit yang menolak untuk belajar. Berdasarkan kasus tersebut berikan analisis mengenai kondisi anak-anak tersebut berdasarkan perspektif perkembangan kognitif, perkembangan psikososial dan emosional.

         Kasus ini sering saya dengar dikalangan teman-teman sesama guru TK, dan bahkan salah satu anak didik yang pernah saya ajar juga mengalami kasus ini. Pada saat di TK, anak didik yang pernah saya ajar ini (Raihan) memang sangat unggul dibandingkan teman seusianya. Di TK tersebut saya hanya sebagai guru pendamping dan saya mengikuti perkembangan anak-anak kala itu. Sampai pada suatu ketika, berdasarkan kesepakatan kepala sekolah kami dan orangtuanya sepakat untuk memberikan kesempatan pada anak ini untuk naik level dari TK A langsung ke TK B. Saat itu Raihan yang baru saja dua minggu di TK A langsung kami tempatkan bergabung di kelas B. Catatan lapangan terkait dengan perkembangan Raihan baik secara kognitif dan psikososial emosionalnya memang agak signifikan. Artinya, saya memantau langsung dan  menyimak dengan seksama bagaimana perkembangan Raihan yang bisa dibilang sangat bertolak belakang dengan yang diharapkan orangtuanya dan mungkin guru-guru senior dan kepala sekolah di TK ini.

 

Yang saya tahu, Raihan memang sangat cerdas untuk anak seusianya. Meski belum genap 5 tahun, tapi Raihan sudah memiliki kosakata yang banyak dalam berbahasa inggris, menghitung sampai ratusan, membaca kata per kata dan bahkan kalimat sederhana serta mampu berkomunikasi dengan sangat baik ketika bertanya atau pun menjawab pertanyaan gurunya. Tetapi, setelah hari dimana Raihan dipindahkan ke kelas yang lebih tinggi sebelum waktunya, ada beberapa perubahan yang terjadi pada diri Raihan. Mungkin, di kasus lain, efek samping dari percepatan akademis baru akan terjadi setelah beberapa tahun kemudian, tetapi di kasus Raihan ini hanya beberapa minggu saja dan Raihan mulai menunjukkan sikap menutup dirinya.

Perubahan sikap yang ditunjukkan Raihan adalah dia tidak terlalu banyak bicara seperti saat dia bersama dengan teman-teman sekelasnya yang memang sejak KB (Kelompok Bermain) sudah sekelas. Raihan juga lebih banyak menutup diri dan selama sebulan pertama, dia lebih sering menangis karena alasan takut dengan teman sekelas yang baru yang merupakan kakak kelasnya. Raihan juga selalu meminta kepada guru-guru sentranya untuk pindah kelas lagi karena ingin bersama dengan teman-teman lamanya. Dan saat itu, karena orangtua Raihan sangat ingin anaknya tetap akselerasi (percepatan) maka pihak sekolah membuat solusi bahwa Raihan boleh pindah ke kelasnya atau pun tetap di kelas yang baru tetapi materi pembelajaran dan evaluasi untuk Raihan setingkat dengan TK B. Dan alhasil, Raihan kembali ke kelas lamanya dengan materi setingkat lebih unggul dibanding teman-teman yang lain.

Dalam hal ini, saya mencoba mengkajinya dengan Teori Kognitif dari Piaget. Anak bukan merupakan miniatur orang dewasa dan cara berfikir anak–anak tidak sama dengan orang dewasa. Menurut Piaget perkembangan kognitif mempunyai 4 aspek yakni :

1.      Kematangan, merupakan pengembangan dari susunan syaraf. Misalnya kemampuan untuk melihat atau mendengar disebabkan oleh kematangan yang sudah dicapai oleh susunan syaraf yang bersangkutan.

2.      Pengalaman, merupakan hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya dan dunianya.

3.      Transmisi sosial, yaitu pengaruh–pengaruh yang diperoleh dengan hubungannya dengan lingkungan sosial seperti cara pengasuhan dan pendidikan dari orang lain yang diberikan kepada anak.

4.      Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan mengatur dalam diri anak agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.

 

Berdasarkan pengalaman di atas dan sedikit penjelasan tentang teori kognitif dari Piaget, bahwa ada benang merah dimana sebenarnya anak usia dini seperti Raihan secerdas apapun dirinya tetaplah anak usia dini yang pada faktanya tahapan kemampuan kognitifnya baru sebatas pra operasional konkrit. Artinya, semua yang dipelajarinya harusnya konkrit dan dari segi emosionalnya, anak usia dini adalah dunia bermain bukan belajar serius seperti di sekolah menengah pertama. Anak usia dini di TK harusnya bermain, bersosialisasi dengan teman sebayanya, bukan malah di drill berlebihan dan sengaja dibentuk untuk akselerasi karena gengsi orangtua dan sekolah.

Jika dianalisa lebih dalam, kasus Raihan ini adalah hal yang lumrah terjadi. Artinya, si anak mampu secara kognitif tetapi kebutuhan sosial emosinya tetaplah di porsinya, sesuai usianya. Jadi, kemampuan sosial emosionalnya juga masih ditahapan penjajakan, bermain, dan ingin berkenalan dengan dunia sebayanya, bukan malah dipaksa percepatan kognitif dan sosialnya.

Menurut saya, seharusnya guru-guru, kepala sekolah, dan orangtua murid haruslah sadar bahwa anak usia dini hanyalah seorang anak kecil yang didalam konsep berpikirnya adalah bermain bukan belajar serius. Dan biarkanlah mereka tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahapan tumbuhkembangnya. Biarkanlah usia kalender (calender ages) berjalan natural bersesuaian dengan usia mentalnya (mental ages). Jangan dipaksakan berlebihan sebelum waktunya. Tugas seorang guru dan orangtua dirumah hanya memberikan stimulasi untuk mengoptimalkan potensi yang ada.

Kemampuan Mengingat dan Pemrosesan Informasi AUD

Secara fisik setiap manusia memiliki tahapan perkembangan, mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa. Dalam hal tertentu ada anggapan bahwa pada masa anak-anak usia 6-12 tahun, kemampuan mengingat dan pemrosesan informasi sangat baik.

Pada tahap ini anak telah mencapai kemampuan untuk melakukan operasi mental yang fleksibel dan dapat diputar balik sepenuhnya. Anak-anak pada tahap ini mengerti peraturan dasar logis tertentu (disebut grouping oleh Piaget) dan karenanya mampu berpikir secara logis dan kuantitatif dengan cara yang tidak kelihatan dalam tahap praoperasional. Anak-anak pada tahap operasi konkret bergerak bebas dari satu pandangan ke yang lain; jadi mereka mampu berperilaku obyektif dalam mengkaji kejadian.

Para pakar PAUD menyatakan bahwa potensi yang dimiliki setiap anak berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Potensi tersebut dapat berkembang baik, jika mendapatkan stimulus yang sesuai dengan usia perkembangannya. Stimulus yang diberikan untuk mengembangkan kemampuan anak, meliputi kemampuan bahasa, kinestetik, studi sosial, seni, kognitif matematika dan sains.

Menurut saya, kemampuan mengingat dan pemrosesan informasi yang baik ini lebih sering dikembangkan pada sentra sains atau sejalan dengan bidang studi kognitif sains. Di bawah ini, saya mencoba menguraikan beberapa contoh mengenai bukti kemampuan anak berdasarkan sistematika kemampuan kognitif sains yang pada hakikatnya dimiliki setiap anak.

 

 

Contoh Mengenai Bukti Kemampuan Anak dalam Sentra Sains

 

Sentra Sains merupakan suatu pusat kegiatan pembelajaran yang berada pada satu ruangan kelas khusus dan difokuskan untuk mengembangan kecerdasan naturalis (Naturalis Intellegence) anak usia sekolah dasar (usia 7-12 tahun). Kecerdasan berbahasa itu sendiri dirumuskan dalam bentuk standar kompetensi mata pelajaran sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Sains (IPA) adalah suatu bidang ilmu yang tersusun secara sistematis, mempelajari gejala kebendaan, yang meliputi dunia dan isinya dengan didasarkan pada proses dan hasil. Menurut Sandra & Jack pada program sains yang berhasil harus ada komponen–komponen seperti materi/hasil, proses/metode, sikap dan teknologi. Dalam perspektif yang berbeda, Rosalind Charlesworth dan Karen K. Lind mengatakan bahwa pembelajaran sains lebih ditekankan pada aktivitas anak. Pembelajaran sains pada anak adalah mengembangkan kemampuan keterampilan proses. Keterampilan proses dalam sains adalah pengetahuan dan konsep–konsep yang dikembangkan dengan menggunakan keterampilan proses, yang meliputi :

1)      Observasi

Observasi atau pengamatan adalah kemampuan untuk mendiskripsikan segala sesuatu dengan menggunakan panca indra (penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan perasa). Observasi adalah langkah pertama dalam mengumpulkan informasi dalam memecahkan masalah.

2)      Komparasi/membandingkan

Seiring dengan berkembangnya kemampuan observasi, secara alamiah anak akan mulai membandingkan dan menghubung–hubungkan kemudian mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan–perbedaan.

3)      Kasifikasi

Proses klasifikasi terjadi saat anak mulai menggabungkan atau memisahkan benda-benda dalam kumpulannya dan mengelompokkannya.

4)      Pengukuran

Pengukuran adalah kemampuan untuk menghitung hasil observasi. Pengukuran bisa meliputi jumlah, jarak, waktu, volume, dan temperatur yang dihitung  dengan satuan standar ataupun tidak. Yang tidak standar misalnya segenggam biji, sehasta, dll.

5)      Komunikasi

Dalam sains, komunikasi berdasar pada kemampuan menggambarkan suatu fenomena. Seorang anak mengkomunikasikan gagasan, tujuan dan deskripsi secara oral maupun dalam bentuk lisan ataupun tulisan, misal gambar, diorama, grafik, laporan. Komunikasi dilakukan dengan mengumpulkan informasi, disusun dan dipresentasikan sebagai sebuah jalan untuk membantu orang lain agar dapat mengerti apa yang kita maksudkan.

6)      Kesimpulan

Ketika anak membuat kesimpulan, mereka membuat serangkaian observasi, mengkatagorikannya, kemudian mencoba untuk memberikan pengertian tentang observasi tersebut. Suatu kesimpulan bisa didapatkan secara tidak langsung (dalam observasi sederhana). Misal, melihat daun melambai–lambai, dengan menggunakan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, kesimpulannya ada angin berembus.

7)      Prediksi

Anak membuat perkiraan dan menyatakan apa yang diharapkan terjadi dari pengamatan  yang dilakukan.

8)      Hipotesa

Agar bisa disebut eksperimen, suatu penelitian harus berisikan sebuah hipotesayang merupakan pernyataan mengenai adanta suatu hubungan yang mungkin terjadi antara dua variabel.

Previous Older Entries